Bahkan keberadaannya dianggap hama oleh para petani ladang karena sering merusak daerah perkebunan.
Hingga Pemerintah Kolonial Belanda saat itu memerintahkan masyarakat untuk menangkap badak untuk mengurangi gangguan hama tersebut, dengan hadiah 10 gulden untuk 1 ekor badak yang tertangkap.
Bukan hanya dianggap hama, cula yang dianggap berkhasiat juga turut menjadi alasan Badak Jawa menjadi satwa buruan.
Hingga hanya tersisa seekor Badak Jawa yang masih hidup dan terus berkeliaran di kawasan kaki Gunung Galunggung, Tasikmalaya pada tahun 1930.
Kemudian pada tahun 1934, seorang petugas petugas dari Musieum Zoologi Bogor mengambil tindakan untuk menembak mati Badak Jawa tersebut sebagai upaya untuk menyelamatkannya dari perburuan para pemburu liar yang terus mengejarnya.
Hingga akhirnya heewan yang berukuran 3,2 meter dan tinggi 1,7 meter dengan berat 2.280 kilogram tersebut mati oleh Peluru mauser kaliber 9.3.
Kemudian Badak Jawa terakhir di Tasikmalaya itu dikorbankan untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan. Dan saat ini, Badak bercula satu itu masih bisa dijumpai di Museum Zoologi Bogor.
Badak betina berwarna hitam itu ditempatkan di etalase kaca di tengah ruang mamalia. Secarik kertas informasi menjelaskan inilah "Badak terakhir di Priangan".