Sejarah Perjuangan RA Kartini Memperjuangkan Emansipasi Wanita Indonesia

- 21 April 2021, 01:30 WIB
Sejarah Perjuangan RA Kartini Memperjuangkan Emansipasi Wanita Indonesia
Sejarah Perjuangan RA Kartini Memperjuangkan Emansipasi Wanita Indonesia /Hening Prihatini/Freepik.com

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. “…Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin…” Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Baca Juga: Jadwal Final Piala Menpora 2021, Persija Jakarta vs Persib Bandung di Stadion Maguwoharjo Sleman

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.

Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”

Wafatnya R.A. Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuang R.A. Kartini semasa hidupnya karena salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Abendon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini diterbitkan pada tahun 1911 dan cetakan terakhir ditambahkan surat “baru” dari Kartini.

Baca Juga: Terbaru, Kode Redeem PUBG Hari Ini 20 April 2021: Buruan Klaim di pubgmobile.com, Berikut Caranya

Pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda. Baru pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran” dengan bahasa Melayu. Pada tahun 1938, salah satu sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Versi milik Pane membagi buku ini dalam lima bab untuk menunjukkan cara berpikir Kartini yang terus berubah. Beberapa translasi dalam bahasa lain juga mulai muncul, dan semua ini dilakukan agar tidak ada yang melupakan sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya itu.

Pemikirannya banyak mengubah pola pikir masyarakat Belanda terhadap wanita pribumi ketika itu. Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh-tokoh Indonesia kala itu seperti W.R. Soepratman yang kemudian membuat lagu yang berjudul ‘Ibu Kita Kartini’.

Presiden Soekarno sendiri kala itu mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964, yang berisi penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini sampai sekarang. (@nunovia).***

Halaman:

Editor: Emis Suhendi


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x