Sejarah Perjuangan RA Kartini Memperjuangkan Emansipasi Wanita Indonesia

- 21 April 2021, 01:30 WIB
Sejarah Perjuangan RA Kartini Memperjuangkan Emansipasi Wanita Indonesia
Sejarah Perjuangan RA Kartini Memperjuangkan Emansipasi Wanita Indonesia /Hening Prihatini/Freepik.com

Baca Juga: Spoiler Kingdom Bab 677, Tanggal Rilis, Bocoran Teori, dan Manga Baca Online

Baca Juga: Dibalik Baunya yang Khas, Berikut 5 Manfaat Petai bagi Kesehatan

Awal Perjuangan R.A. Kartini

Sebagai seorang bangsawan, R.A. Kartini berhak memperoleh pendidikan. Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini di ELS (Europese Lagere School). Disini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Disebabkan kebiasaan ketika itu, anak perempuan harus tinggal di rumah untuk ‘dipingit’, maka Kartini hanya bersekolah hingga usia 12 tahun.

Disinilah sejarah perjuangan R.A. Kartini bermula. Selama tinggal di rumah, Kartini belajar sendiri dan mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari Abendanon, Kartini mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang kemajuan berpikir perampuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu berada pada status sosial yang amat rendah.

R.A. Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalan kebudayaan Eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa Belanda. Bahkan di usinya yang ke-20, Kartini banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa Belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.

Baca Juga: Terbaru, Kode Redeem PUBG Hari Ini 20 April 2021: Buruan Klaim di pubgmobile.com, Berikut Caranya

Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini kecil sering juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Melalui surat-surat yang ia kirimkan, terlihat jelas bahwa Kartini selalu membaca segala hal dengan penuh perhatian sambil terkadang membuat catatan kecil, dan tak jarang juga dalam suratnya Kartini menyebut judul sebuah karangan atau hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca.

Buku-buku bertulisan belanda tersebut membuat beliau makin terbuka pikirannya dan semakin maju. Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahun dan kebudayaan. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga amsalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Pada tanggal 12 November 1903, oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang telah memiliki tiga istri. Suaminya sangat mengerti citi-cita Kartini dan memperbolehkan Kartini unuk membangun sebuah sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rmbang, di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Halaman:

Editor: Emis Suhendi


Tags

Terkait

Terkini

x