Sejarah Perjuangan RA Kartini Memperjuangkan Emansipasi Wanita Indonesia

- 21 April 2021, 01:30 WIB
Sejarah Perjuangan RA Kartini Memperjuangkan Emansipasi Wanita Indonesia
Sejarah Perjuangan RA Kartini Memperjuangkan Emansipasi Wanita Indonesia /Hening Prihatini/Freepik.com

Baca Juga: Terbaru, Kode Redeem PUBG Hari Ini 20 April 2021: Buruan Klaim di pubgmobile.com, Berikut Caranya

Dalam pernikahannya, Kartini hanya memiliki seorang anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini menghembuskan napas terakhirnya pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihan R.A. Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912 dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh politik Etis.

Surat-surat Kartini

Surat-surat yang Kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan Jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.

Cita-cita luhur R.A. Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi oleh Kartini, dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang makna ketuhanan, kebijaksanaan dan keindahan (Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid), perikemanusiaan (humanitarianisme), dan juga cinta tanah air (nasionalisme).

Baca Juga: Terbaru, Kode Redeem PUBG Hari Ini 20 April 2021: Buruan Klaim di pubgmobile.com, Berikut Caranya

Surat-surat Kartini juga berisi harpannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebeas duduk di bangku sekolah, harus dipinggit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kaih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjai guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Halaman:

Editor: Emis Suhendi


Tags

Terkait

Terkini

x