وَإِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ *** فَإِنْ هُمُو ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوا
Nilai suatu kelompok itu selama ada akhlaknya. Jika akhlak mereka hilang, maka nilai mereka pun hilang.
Di antara contoh nyata akhlak mulia adalah rasa malu. Allah Ta’ala berfirman,
وَلِبَاسُ التَّقْوَىَ ذَلِكَ خَيْرٌ
“Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” [Quran Al-A’raf: 26].
Di antara tafsir dari ayat ini pakaian itu adalah rasa malu.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ -أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ- شُعْبَةً، أَعْلاَهَا: قَوْلُ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. وَأَدْنَاهَا: إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ. وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang -atau enam puluh sekian cabang- yang paling afdhal adalah LAA ILAAHA ILLAALLAH dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan yang ada di jalan. Dan malu adalah bagian dari keimanan.” [HR. Muslim].