Mencekam! Sejarah Pembangunan Jalur KA Saketi - Bayah yang Banyak Telan Korban Jiwa

- 15 Desember 2021, 05:00 WIB
Ilustrasi Kereta Api /id.wikipedia.org
Ilustrasi Kereta Api /id.wikipedia.org /

 

MANTRA PANDEGLANG - Kisah berlatar masa lalu yang muncul menjadi sisi lain di wilayah Provinsi Banten.

Kisah mencekam juga kejam terjadi pada saat pembangunan jalur Kereta Api (KA) Saketi - Bayah.

Dilansir Mantrapandeglang.com dari humaspdg.wordpress.com, pada saat pembangunan KA Saketi - Bayah banyak memakan korban ribuan manusia.

Baca Juga: Fakta Penglaris Kafan yang Perlu Diketahui, Mulai Diludahi Pocong Hingga Penyedap Masakan Berkomposisi Dosa

Baca Juga: 5 Gunung Paling Angker dan Menyeramkan di Jawa Barat, Salah Satunya Gunung Ciremai Kuningan dan Majalengka

Dengan jumlah korban fantastis yang terdiri dari tawanan perang alias Prisoner Of War (POW) Sekutu dan Romusha.

Diketahui, pembangunan jalan kereta api memiliki arti sangat strategis untuk kelanjutan ekspansi tentara Jepang di masa Perang Dunia ke-II. Dalam pembangunannya dikerjakan dengan sistem kerja paksa (slave labour) Romusha dan tawanan perang / Prisoner Of War (POW).

Catatan sejarah perihal jalur kereta api maut, Jepang menorehkan kisah kejam di Banten Selatan jalur Saketi - Bayah.

Sebelumnya, Jepang sudah membuka jalur kematian dari Thailand ke Burma. Sebuah jalur kereta api yang juga sudah direncanakan oleh pemerintah Inggris, namun karena kondisi alam yang berat maka rencana itu dikesampingkan.

Jepanglah yang kemudian mengacak-acak dokumen Belanda dan Inggris dan menemukan rencana jalur tersebut untuk kemudian mewujudkannya melalui tangan, darah dan nyawa para Romusha yang tak hanya terdiri atas bangsa Indonesia tapi juga Australia, Inggris, Amerika, dan Belanda.

Jadi, saat berlangsung Perang Dunia II (1938-1945) Jepang membangun tiga jalur kereta api di dua wilayah di Asia Tenggara yaitu jalur Thailand-Burma, Muaro Sijunjung-Pekanbaru dan jalur Saketi-Bayah.

Jepang mempekerjakan tahanan yang dipaksa kerja dan seperti dikirim ke neraka karena puluhan ribu jiwa melayang dalam proyek pembangunan jalur kereta api itu.

Baca Juga: Misteri Nyai Roro Kidul Dibalik Keindahan Pantai Karang Hawu Cisolok Sukabumi yang Belum Diketahui

Jalur kereta api di dua wilayah Indonesia itu tak lagi bersisa, seperti juga tragedi kekejaman Jepang yang seakan terlupakan.

Jalur KA Saketi - Bayah (Death Railway) pembangunannya dilaksanakan pada tahun 1942-1945. Pembangunan jalan KA Saketi-Bayah juga bagian dari strategi perang Jepang bertujuan ganda.

Yakni, pertama mengangkut batu bara dari tambang batu bara Cikotok yang merupakan bahan bakar kereta api dan kapal zaman itu, kedua guna menghindarkan angkutan laut yang sudah mulai terancam oleh serangan torpedo kapal selam sekutu.

Pembangunannya juga dilakukan dengan menggunakan tenaga romusha tanpa POW, tapi melibatkan sejumlah tenaga ahli perkereta apian Belanda yang menjadi tawanan perang Jepang. Pekerjaan penambangan batu bara inipun dikerjakan dengan penggunaan tenaga Romusha.

Bantalan kayu dan rel untuk pembangunan jalan KA ini diambil dari seluruh Jawa, sebagaimana halnya juga dengan tenaga romusha yang kebanyakan berasal dari Jawa Tengah, seperti dari Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain.

Pembangunan jalan kereta api sepanjang 89 km ini menelan korban yang diperkirakan mencapai 93.000 jiwa romusha.

Bayah yang sibuk dengan aktivitas pembuatan jalan kereta api dan penambangan batu bara inilah yang juga terkait dengan cerita seputar Tan Malaka.

Diceritakan bahwa dikota kecil Bayah inilah Tan Malaka pernah menetap. Kota yang merupakan tempat yang aman bagi persembunyian Tan Malaka.

Baca Juga: Misteri Ular Tak Berujung di Jalan Raya Lengkong Sukabumi

Selain itu, Bayah juga merupakan tempat yang cukup tenang guna meneruskan aktivitasnya menuliskan buah-buah pemikirannya tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Walau kisah sejarah ini sangat mencekam dilihat dari korban jiwa romusha yang fantastis itu, ternyata saat ini jejak-jejak sejarah itu sudah hampir-hampir lenyap.

Masyarakat banyak yang hanya pernah mendengar kisah ini dan hampir semuanya sekarang bersikap acuh tak acuh.

Tempat-tempat yang dulu dikenal sebagai sumur romusha, stasiun Kereta Api, goa-goa bekas penambangan batu bara, semua sudah sulit ditemukan. Rel-rel untuk angkutan batu bara sudah habis diangkut tukang besi untuk dijual.

Satu-satunya apresiasi yang pernah diberikan terhadap para korban ini adalah kehadiran sebuah monumen berupa tonggak setinggi 3 meter, yang terletak di sebelah SLTPN 1.

Tugu yang dikhabarkan dibangun oleh Tan Malaka ini berada dalam kondisi tidak terawat dan terkesan diabaikan.***

Editor: Andriana


Tags

Terkait

Terkini